Tidak ada hal yang gratis di dunia ini. Contoh mudah dari
tradeoff adalah pada rumah tangga. Ketika suatu rumah tangga membelanjakan 1
rupiah untuk pendidikan anak, misalnya, maka jumlah alokasi dana yang dapat
digunakan untuk keperluan lainnya berkurang pula 1 rupiah. Tradeoff yang umum dihadapi pemerintah (Amerika dalam hal ini) adalah tradeoff
antara senjata dan mentega. Semakin banyak dana yang digunakan untuk
pengembangan militer, maka semakin sedikit dana yang tersisa untuk
kesejahteraan rakyat (mentega).
Dalam bagian ini Mankiw juga menjelaskan mengenai tradeoff antara efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity). Efisiensi adalah kondisi di mana hasil-hasil perekonomian menjadi sebesar mungkin. Sedangkan pemerataan adalah suatu kondisi di mana hasil-hasil perekonomian terdistribusi secara merata. Jadi efisiensi adalah tentang ukuran kue ekonomi, sedangkan pemerataan adalah tentang pembagian kue ekonomi tersebut.
Tradeoff antara efisiensi dan pemerataan dijelaskan oleh Mankiw sebagai berikut. Salah satu usaha pemerintah untuk pemerataan adalah pengenaan pajak lebih besar bagi masyarakat yang memiliki penghasilan lebih besar, untuk dibagikan kepada mereka yang kurang beruntung. Pada saat bersamaan, hal ini membebankan pula biaya efisiensi. Insentif terhadap orang-orang yang bekerja menjadi turun, sehingga orang-orang menurunkan produktivitasnya. Akibatnya, hasil perekonomian secara keseluruhan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan, pada saat bersamaan akan mengecilkan ukuran kue ekonomi tersebut. Sehingga kedua hal ini tampaknya sulit untuk dicapai secara bersama.
Konsep ekonomi kesejahteraan menjadi menarik mengingat adanya trade-off antara efisiensi dan pemerataan (efficiency-equality trade off). Okun (1975) menggambarkan trade-off ini dalam tulisannya Equality or Efficiency: The Big Trade-Off. Okun menggambarkan bahwa pemerataan dapat dicapai tetapi konsekwensinya adalah menurunnya efisiensi. First fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah.
Fenomena yang menarik dari kebijakan redistribusi adalah kebijakan yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti negara-negara skandinavia. Negara-negara tersebut bukan hanya mengalami overshooting dalam subsidi dan pengeluaran publik tetapi juga memiliki disposable income dan gross income yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dengan kata lain negara-negara tersebut mampu mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui lumpsum transfer, berbeda dengan kondisi di sejumlah negara lainnya yang gagal mengatasi hal tersebut melalui kebijakan lumpsum transfer.
Pembahasan tentang ekonomi kesejahteraan dengan mengemukakan tulisan Samuelson (1947) dan Arrow (1951). Teori terpenting yang dikemukakan oleh keduanya adalah two equivalence theorems tentang pareto optimum dan competitive equilibria. Menurut teori tersebut, ekuilibrium yang kompetitif dimana harga sama dengan biaya marginal akan menghasilkan alokasi yang pareto optimal, tetapi alokasi sumber daya yang terjadi tidak memaksimumkan social welfare (inequity resources allocation). Dengan kata lain ada trade-off antara efisiensi dan alokasi sumber daya yang adil diantara individu dalam masyarakat (efficiency-equity trade off).
Kurva Lump
Sum
Untuk mengatasinya
dibutuhkan lumpsum transfer (lumpsum taxes dan lumpsum
subsidies) sehingga memungkinkan mencapai ekuilibrium kompetitif yang
memiliki properti efisien dengan alokasi sumber daya yang adil. Melalui lumpsum
transfer, trade off antara efisiensi dan pemerataan tidak terjadi
sehingga kebijakan redistribusi dapat dilakukan tanpa menciptakan diskriminasi
harga dan terjadinya inefisiensi. Lumpsum
transfer dalam contohnya adalah subsidi dari pemerintah. Diharapkan
dengan adanya lumpsum transfer akan
mempengaruhi pendapatan disposable masyarakat yang pada akhirnya akan
merubah keseimbangan pendapatan nasional. Sedangkan lumpsum tax adalah pungutan
pajak yang jumlahnya tetap, artinya besarnya pajak tersebut tidak tergantung
kepada besarnya pendapatan. Dengan demikian, kebijakan redistribusi
dapat berjalan dalam suatu sistem yang memenuhi kondisi untuk efisiensi sosial
atau optimum pareto.
REFERENCES:
Sandmo, A. Introduction: The Welfare Economics of the Welfare State. The Scandinavian Journal of Economics Vol. 97 No. 4 (Dec. 1995), pp 469-476
Tidak ada komentar:
Posting Komentar